Kamis, 09 Februari 2012

Kenyataan Pahit di Balik Racun Itu -- "Vanguard: Sex, Lies and Cigarettes"


Sebuah film dokumenter yang dibuat pada tahun 2010 dan dirilis pertengahan 2011 ini cukup booming akhir-akhir ini. Film yang mengisahkan tentang industri rokok dengan segala pernak-perniknya, termasuk juga bagaimana mereka bekerja di pasar barunya, negara-negara berkembang.

'Vanguard' semacam seri dokumenter dari CurrentTV. Dan salah satu episodenya adalah "Sex, Lies, and Cigarettes" ini. Film ini tergolong terdistribusi dengan cepat dan luas karena penyebarannya terbantu oleh repost dari orang-orang melalui Youtube.

Di Indonesia film ini cukup banyak dibicarakan, karena sebagian besar scene di film ini memang diambil di Indonesia. Bahkan opening-nya adalah cuplikan mengenai seorang balita Indonesia yang sempat menjadi pemberitaan beberapa waktu lalu di media massa nasional maupun internasional karena kebiasaanya merokok yang sangat kuat. Dan secara khusus film ini pun menyoroti isu rokok (termasuk industri rokok dan regulasi pemerintah lokal seputar rokok) di Amerika Serikat dibandingkan dengan salah satu negara Asia dengan konsumen rokok terbesarnya hingga hari ini, apa lagi kalau bukan negara kita Indonesia ini.

Perbandingan yang sangat kontras di mana Amerika Serikat yang notabene dulunya dikenal dengan sebutan “Marlboro Country” sekarang telah berubah drastis dengan segala peraturan pemerintah federal maupun peraturan pemerintah negara bagiannya yang sebagian besar intinya adalah membatasi seketat mungkin akses orang untuk mengonsumsi rokok, terutama remaja di bawah umur. Salah satunya adalah dengan regulasi pelarangan iklan rokok di media publik seperti billboard. Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah AS pun membuat peraturan pembatasan harga rokok dengan standard yang cukup tinggi. Satu bungkus Marlboro di sana berharga 12 dollar hingga 13,25 dollar US. Dan ternyata hal ini sangat efektif untuk menekan jumlah konsumen rokok. Sebuah toko bahkan menyatakan dulu dia bisa menjual 3 slop sehari, sekarang 1 slop saja sudah bagus. Bandingkan dengan di Indonesia yang bahkan bisa membeli dengan harga eceran perbatangnya sekitar 500 rupiah.

Kejayaan rokok di tahun 60an di mana hampir setengah penduduk dewasa di AS merokok dan didukung pula oleh iklan vulgar mempertontonkan adegan menghisap rokok dan bahkan secara politis didukung pula oleh banyak pihak saat itu – mulai dari film-film yang mempertontonkan scene adegan merokok, dokter yang merokok, bahkan termasuk sebuah episode kartun Flinstone yang dengan adegan merokoknya yang ditampilkan secara visual – sekarang justru mendapat banyak tekanan dari banyak pihak di negara penggagasnya sendiri, Amerika Serikat. Bahkan walikota New York, Michael Bloomberg, mengatakan bahwa sekarang jarang sekali melihat warga New York merokok di jalanan. Bahkan banyak kejadian seseorang yang merokok di jalanan menyembunyikan rokoknya ketika berhadapan dengan orang lain karena perasaan malu di mana sebagian besar orang di jalanan tidak merokok, karena ada tempat-tempat khusus untuk merokok, semisal di bar atau restoran.



Sekarang, keadaan telah berubah. Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang menggagas kampanye antirokok dengan cara penyuguhan visual yang lebih ekstrim akan akibat merokok yang sering disebut sebagai in-your-face anti smoking campaign. Ide ini direalisasikan pada tahun 2006 oleh Departemen Kesehatan New York dengan tujuan menekan jumlah perokok dengan menampilkan secara vulgar (visual) penyakit-penyakit akibat konsumsi rokok melalui gambar-gambar di kemasan rokok maupun kampanye melalui media tv. Dan hal itu dinyatakan berhasil oleh walikota New York dengan menurunnya angka perokok dari kalangan muda sebesar 50% dibandingkan tahun 2004. Bahkan pada tahun 2007 angka perokok di AS sempat mencapai titik terendah selama 40 tahun terakhir.

Namun krisis rokok global belum berhenti. Bahkan bisa dibilang tetap meningkat di negara-negara yang tergolong berkembang di dunia. Dan film ini menyoroti bahwa hilangnya pendapatan perusahaan rokok multinasional di Amerika dan Eropa, maka dibidiklah negara-negara berkembang di dunia sebagai pasar barunya, seperti negara-negara Asia, Amerika tengah, Amerika Selatan, beberapa negara Arab dan Afrika. Dan film ini membidik Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tersebut dengan tingkat konsumsi rokok yang tinggi.

Sebuah pernyataan sarkastik muncul dari mulut Christof Putzel, si koresponden dalam film ini yang mengatakan bahwa ketika ia sampai Indonesia dan turun dari pesawat, ia merasa kembali ke AS jaman dulu di mana iklan rokok merajalela di hampir semua spot termasuk di hampir seluruh bagian di bandara. Bahkan hingga di jalan-jalan semua ‘dihiasi’ oleh iklan rokok dengan berbagai merk. Sebuah cara marketing yang sudah hilang di negara Barat justru menyelimuti negara Indonesia sekarang ini, bahkan tidak hanya di Jakarta, namun juga di daerah pinggiran pun dipenuhi oleh billboard iklan rokok dalam berbagai bentuknya, bahkan melalui media LCD raksasa di jalan-jalan yang HANYA menampilkan iklan rokok seharian.

Film ini menampilkan wawancara dengan Rudi Baihaqi, seseorang dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia di Sumatera, yang concern dengan kasus bayi perokok, Aldi Rizal, yang beritanya sempat booming hingga ke mancanegara beberapa waktu lalu. Rudi menjelaskan bahwa di Indonesia sangat mudah sekali bagi anak kecil untuk membeli rokok. Bahkan hanya dengan mendatangi warung dengan membawa uang, seorang balita bisa mendapatkan rokok yang ia mau. Hal ini pun diamini oleh Ita Rahma, seorang aktivis pengontrolan tembakau, yang tampil di film ini dengan memberikan informasi seputar peredaran rokok di kalangan anak muda Indonesia yang bahkan ada di warung-warung kecil di depan SMP, tentunya dengan konsumen tetapnya adalah murid SMP itu sendiri.

Di Amerika Serikat, menjual rokok kepada anak muda dibawah umur 18 tahun adalah sebuah perbuatan ilegal. Sedangkan di Indonesia tidak ada peraturan seperti itu.

Produk rokok di Indonesia mempunyai andil yang sangat besar dalam hal sponsorship utama acara-acara besar terutama bagi penyelenggaraan event musik dengan bintang tamu dari luar negeri. Walaupun sebenarnya ada seorang artis AS, Alicia Keys, yang sempat mempermasalahkan konsernya di Indonesia karena ternyata di sekitar venue dan termasuk di dalam gedungnya dipenuhi oleh iklan rokok yang mensponsori acaranya. Dia sempat tidak mau manggung hingga semua billboard dan umbul-umbul iklan rokok di venue dan di dalam gedung diturunkan dan ditutupi semua. Dan hal itu akhirnya dikabulkan oleh pihak panitia.

Pada tahun 2005 Phillip Morris, pemilik Marlboro, membeli PT. Sampoerna Indonesia dengan nilai 5 juta dollar. AKhirnya Sampoerna membuat membuat brand ‘A-Mild’ untuk dipasarkan kepada anak-anak muda Indonesia. Bahkan dijelaskan pula, Morris mengeluarkan 200 juta dollar tiap tahunnya untuk pemasaran brand tersebut di Indonesia. Berarti bisa dibayangkan berapa kali lipat pemasukannya di Indonesia dari konsumen utamanya yang notabene adalah kalangan muda?

Pihak Sampoerna Indonesia menyangkal memasarkan kepada anak dibawah umur. Walaupun ternyata banyak sekali acara-acara di tv nasional sponsor utamanya adalah brand rokok tersebut, sehingga menampilkan iklan rokok tersebut secara bertubi-tubi.

Bahkan Rudi Baihaqi mengatakan Phillip Morris bukan manusia, tapi iblis. Tentunya sebuah pernyataan yang vulgar dan keras dari seseorang yang memang concern dengan isu rokok di kalangan anak di bawah umur.

Kontrol sangat susah dilakukan di Indonesia. Ada kasus penghilangan pasal dalam RUU Kesehatan di tahun 2009 tentang nikotin sebagai zat adiktif tepat sehari sebelum RUU tersebut ditandatangi menjadi UU. Sangat kental dengan konspirasi politik-ekonomi tentunya.

Seorang anggota DPR, Eva Sundari, menjelaskan bahwa rokok memang sangat berbahaya. Namun ia juga berkata bahwa perlu untuk menjaga keadilan bagi para petani tembakau. Indsutri rokok mempekerjakan sekitar 600 ribu petani tembakau dan pekerjanya. Dan pajak rokok menghasilkan sekitar 7 milyar dollar tiap tahunnya.

Mathew Myers, seseorang tokoh dari Campaign For Tobacco-Free Kids, mengatakan bahwa Phillip Morris sangat cerdik untuk lompat dari satu negara ke negara lain yang dirasa sangat membutuhkan tembakau sebagai penunjang ekonomi negaranya. Termasuk Indonesia tentunya. Namun mengabaikan milyaran dollar untuk biaya kesehatan sebagai akibat dari merokok itu sendiri.

Angka 400 ribu dicapai tiap tahunnya bagi kematian karena penyakit yang disebabkan oleh tembakau di Indonesia. Dan diperkirakan angka ini akan mencapai 4 kali lipat dalam 20 tahun ke depan. It's like a time bomb, isn't it?

Di beberapa negara berkembang, merokok sebenarnya ikut andil dalam memiskinkan konsumennya. Banyak masyarakat perokok menghabiskan hampir sepertiga penghasilannya untuk rokok. Bahkan termasuk masyarakat yang tergolong kurang mampu.

Film ini pun menyambangi tempat tinggal Aldi Rizal, si ‘bayi perokok’ di Sumatera. Ibunda Aldi mengakui ketika semasa hamil, ia merokok. Walaupun bukan berarti ini menurun kepada si bayi, namun pembiaran dari orangtua-lah yang menjadi pertanyaan besar. Setelah berita ‘bayi perokok’ ini menyebar ke seluruh dunia, akhirnya pemerintah Indonesia karena merasa malu kemudian mengirim Aldi dan ibunya untuk rehabilitai di Jakarta selama 1 bulan. Dan setelah rehabilitasi, akhirnya Aldi dan ibunya terlepas dari kebiasaan merokoknya. Dan Aldi bisa beraktivitas kembali seperti layaknya anak umur 2 tahun. LPAI sekarang mengawasi 5 kasus ‘bayi merokok’ yang lain. Dan bahkan ada video-video ‘bayi merokok’.

Dengan membidik negara berkembang sebagai pasar barunya, produsen rokok raksasa pun membuat strategi marketing yang lebih 'gesit' lagi, mulai dari strategi promosi yang besar hingga bagi pedagang asongan. Salah satu contohnya adalah ketika sebuah produsen rokok memberi insentif 1 kg beras bagi seorang pedagang asongan yang bisa menjual 50 dos rokok per-harinya.

Indonesia, begitu juga dengan negara-negara berkembang lainnya, dipandang oleh perusahaan-perusahaan rokok raksasa sebagai sebuah pasar baru. Di mana di negara-negara maju (khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa) industri rokok mengalami penurunan dengan segala kesadaran dari warga negara dan ditunjang oleh regulasi yang dibuat di negara-negara tersebut yang sangat membatasi peredaran rokok, maka para produsen berusaha mencari pasar baru yang dirasa cukup potensial. ‘Pasar’ baru? Atau ‘korban’ baru? You name it. (EV)

Salah satu quote keras dari film ini:
“Hanya rokok, sebuah produk yang apabila digunakan dengan benar justru membunuh separuh penggunanya dalam jangka panjang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar